Minggu, 08 Januari 2017

perda dan perkada

PERDA DAN PERKADA

A. Prosedur Umum Pembentukan

Untuk menghailkan sebuah produk “peraturan daerah” yang baik dan sesuai

dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka perlu dilakukan berdasarkan prosedur

penyusunan daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi. Dalam pembuatan peraturan

daerah perlu adanya persiapan-persiapan yang matang dan mendalam, antara lain:

1. Dimilikinya pengetahuan mengenai materi mjuatan yang akan diatur dalam

peraturan daerah;

2. Adanya pengetahuna tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut

kedalam perarturan daerah secara singkat tapi jelas, dengan pilihan bahasa yang

baik dan mudah dipahami, disusun secar sistematis berdasarkan kaidah-kaidah

bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Prosedur penyusunan peraturan daerah adalah merupakan rangkaian kegiatan

penyusunan produk hukum daerah sejakdari perencanaan sampai dengan penetapannya.

Proses pembentukan peraturan daerah terdiri dari tiga tahapan:

1. Proses penyiapan rancangan peraturan daerah, yang merupakan proses

penyusunan dan rancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan pemerintah

daerah (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk menyusun

naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik, dan naskah rancangan

peraturan daerah.

2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.

3. Proses pengesahan oleh kepala daerah dan pengundangan oleh biro/bagian

hukum.

Ketiga proses pembentukan Perda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD. Berdasarkan amandemen

I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan

membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD

1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-

Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan

membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda.

Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan

Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau

unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk

Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian

Hukum.

2) Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah. Dalam

proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat

dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23

Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang

telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun

2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang

ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006.

3) Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD. Pembahasan Raperda di DPRD

baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD,

dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda

membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di

Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui

beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini

dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi,

rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih

detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan

oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masingmasing. Khusus untuk Raperda

atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau

pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

4) Proses Pengesahan dan Pengundangan Apabila pembicaraan suatu

Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh

DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala

Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum

untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh

Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan

autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda

tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan

Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi

dan dokumentasi Perda tersebut. Apabila masih ada kesalahan teknik

penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD

dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda

yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala

Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah

diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan

teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah

Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan,

Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat

kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran

Daerah.

B. Peraturan daerah

1. Pengertian peraturan daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan

Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah .

Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang

tentang Pemerintah Daerah1 adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di

Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/ Kabupaten/ kota dan tugas

pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing

daerah.

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah

seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Pembentukan PERDA yang baik

Asas pemebentukan perda

Pembentukan perda yang baik harusa berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan sebagai berikut

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat

dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang

tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi

muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang

undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan

tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun

sosiologis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang

undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat

dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan

bersifat transparan dan terbuka.

3. Proses penyiapan rancangan peraturan daerah

Sebagaimana halnya DPR, dalam konteks daerah, DPRD memegang

kekuasaan membentuk peraturan daerah dan anggota DPRD berhak mengajukan

usul rancangan peraturan daerah. Dalam pelaksanaan RAPERDA dari lingkungan

diatur lebih lanjut dalam peraturan tata tertib DPRD masing-masing daerah.

Pembahasan rancangan peraturan daerah atas inisiatif DPRD akan

dikoordinasikan oleh sekretaris daerah atau pejabat unit kerja yang ditunjuk oleh

kepala daerah untuk bertanggungjawab atas pembahsan lebih lanjut di tingkat

eksekutif. Setelah itu maka akan dibentuk tim asistensi dengan sekretaris yang

berada di biro/bagian hukum.

4. Penulisan rancangan PERDA

Pekerjaan menyusun peraturan daerah seperti halnya, kodifikasi hukum,

dan rancangan peraturan perundang-undangan memiliki spesifikasi tertentu.

Himpunan peraturan perundang undangan disusun berdasarkan derajat peraturan

dan waktu penetapannya. Sedangkan kodifikasi hukum disusun secara sistematis

menurut rumpun masalah dan dikelompokkan secara sistematis dalam Buku, Bab,

Bagian, Paragraf, dan Pasal-Pasal.

5. Proses penyiapan RAPERDA di lingkungan pemerintah daerah

Pada proses penyiapan peraturan daerah yang berasal dari pemerintah

daerah diawali adanya prakarsa dari pimpinan unit kerja untuk mengusulkan suatu

produk hukum daerah (raperda). Rencana penyusunan RAPERDA ini diajukan

oleh pimpinan unit kerja kepada sekretaris daerah untuk dilakukan harmonisasi

materi dan sinkronisasi pengaturan. Yang dimaksud dengan pimpinan unit kerja

yaitu kepala badan, kepala dinas, kepala kantor, kepala bagian/biro di lingkungan

secretariat dapat mengajukan prakarsa kepada sekretaris daerah yang memuat

urgensi, argumentasi, maksud, dan tujuan pengaturan materi yang akan diatur

serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan

dituangkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut. Beberapa hal yang mesti

dilampirkan dalam usulan awal RAPERDA dari pimpinan unit kerja antara lain

memuat isi pokok-pokok pikiran terdiri:

a) Maksud dan tujuan pengaturan dasar hukum menteri yang diatur dan

b) Keterkaitan dengan pengaturan perundang-undangan lain.

Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh secretariat daerah mengenai urgensi,

argumentasi, dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis,

dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan dalam RAPERDA tersebut, maka

sekretaris daerah akan mengambil keputusan.

Sekretaris daerah juga menugaskan kepala biro/bagian hukum untuk

melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila sekfeatris

daerah menyutujui, pimpinan unit kerja menyiapkan draft awal dan melakukan

pembahasan. Pembahasan ini harus melibatkan biro/bagian hukum, unit kerja

terkait dan masyarakat. Setelah itu unit kerja dapat mendelegasikan kepada

biro/bagian hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan

produk hukum daerah (raperda) tersebut. Rencana peraturan daerah yang sudah

melewati tahapan diatas akan disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD

untuk dilakukan pembahasan.

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala

Daerah (gubernur ataubupati/wali kota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas:

1) Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan

Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan

bersama Gubernur.

2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota

tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah

Provinsi.

Rancangan Peraturan Daerah(Raperda) dapat berasal dari DPRD atau

kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh

Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan

oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur

atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat

pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus

menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.

Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau

Bupati/Walikota untuk diasahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu

palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan

oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu

30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui

bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda

tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun

Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua

pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan

peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah

Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama

Bupati/Walikota.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah,

peraturan daerah di bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan

ciri khas masing-masing daerah. 

Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan

merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah

yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat

sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan,

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

Perda dibentuk karena ada kewenangan yang dimiliki daerah otonom dan

perintah dari peraturan-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan yang dimaksud

adalah kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Definisi Perda Sesuai dengan ketentuan UU No. 10/2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan

Daerah (Perda) adalah  peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan UU No. 32/2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah  peraturan perundang-undangan yang

dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah

baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004

mengamanatkan bahwa Perda dibentuk oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan ; serta ayat (3)

Perda yang dimaksud merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-

masing daerah.

C. Proses mendapatkan persetujuan (pembahasan di DPRD)

RAPERDA yang masuk ke secretariat DPRD baik atas usul innisiatif DPRD

maupun atas inisiatif pemerintah daerah, selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh

DPRD bersama Gubernur/Bupati/Walikota. Dala hal ini pemerintah daerah akan

membentuk tim asistensi dengan secretariat berada di biro/bagian hukum. Pada tahapan

pembahasan di DPRD ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan

komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail

mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif pemerintah daerah maupun atas

inisiatif DPRD akan ditentukan oleh peraturan tata etrtib DPRD masing-masing daerah.

Khusus untuk RAPERDA atas inisiatif DPRD, kepala daerah akan menunjuk sekretaris

daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

D. Proses pengesahan dan pengundangan

Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan

disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah

melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan

pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala

Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan

menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan

Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi

Perda tersebut. Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD

dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik

penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada

Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan

kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan

tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih

terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan

DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui

Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam

lembaran daerah agar semua masyarakat di daerah itu dan pihak yang terkait

mengetahuinya.

1) Lembaran daerah dan berita daerah

a) Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat. PERDA

yang telah disahkan oleh kepala daerah harus diundangkan kedalam

lembaran daerah.

b) Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan perda ddengan penjelasannya,

penjelasan atas perda tersebut dicatat dalam tambahan lembaran daerah

dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan perda sebagaimana yang

diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan perda

tersebut adalah sekretaris daerah.

E. Mekanisme pengawasan perda

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintaha daerah

sesuai amanat pasal 217 dan 218 undang undang nomor 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah. Bulan desember 2005 ditetapkan peraturan pemerintah nomor 79

tahun 2005 tentang pedoman pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Pembinaan dan pengawasandimaksudkan agar kewenangan daerah

otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan.

Di samping Pemda merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan

negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian

integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana

dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan

kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas

penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan

pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian

pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada

Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan

pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota

dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada

Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait.

Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU

Nomor 34 Tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan

kewenangan seluas-luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat

limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena

tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini

dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan

pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud

kepada Pemerintah Pusat.

Berbeda dengan PengawasanKebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana

telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor

32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:

a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang

Daerah dan APBD;

c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;

d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;

e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.

Mengenai jenis jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:

a) Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD

dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan

Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari

Dalam Negeri untuk dievaluasi.

b) Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi

tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah

Daerahdalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerimaRancangan

Perda Provinsi.

c) Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak

Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan,

sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi

dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang

Nasional.

d) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur

untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil

evaluasi.

e) Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam

waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f) Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan

tetapmenetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat

membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri.

g) Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan

bersama dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri.

b. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:

a) Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah

disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh

Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur

untuk dievaluasi.

b) Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah

dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima rancangan Perda

Kabupaten/Kota.

c) Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan

Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan

Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk

melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

e) Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD

dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f) Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan

tetap menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda

dengan Peraturan Gubernur.

g) Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada

Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

c. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:

a) Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh)

hari setelah ditetapkan.

b) Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu

60 hari.

c) Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan

Presiden.

d) Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda;

Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180( seratus delapan puluh) hari

setelah pembatalan.

d. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi

Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:

a) Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam

Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

b) Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait

di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

c) komponen terkait melakukan pengkajian dan evaluasi rancangan

rancangan Perda bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat

Jenderal dan komponen terkait.

d) hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

e) hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri

disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

e. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:

a) Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi

Menteri.

b) Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri

Dalam Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri

Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi

dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).

c) Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri

dilakukan klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.

d) Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum

dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam

Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi

dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui

Menteri Sekretaris Kabinet.

e) Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perdadisampaikan kepada

Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum

Sekretariat Jenderal.

f. Pengawasan Represif Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pasal 158 ayat

(1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

menyatakan bahwa Pajak Daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-

Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Daerah. Sedangkan Pasal 238 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa semua

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini

dinyatakan tetap berlaku. Pasal 238 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan

pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua)

tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan, yaitu sampai dengan 15 Oktober

2006.

Sepanjang Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru

belum ditetapkan, ketentuan Pasal 5A ayat (2) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah menyatakan

bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud.

Juga dalam Pasal 25 A ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud. Ketentuan di atas ditindak lanjuti

dengan ketentuan Pasal 80 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang

Pajak Daerah yang menyatakan bahwa dalam hal Perda tentang pajak daerah

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri membatalkan Perda

dimaksud. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang mengatur bahwa dalam hal Perda Retribusi

Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan

membatalkan Perda dimaksud.

F. Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah

membentuk perda. Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala

daerah. Perda memuat materi muatan yaitu:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

b. Penjabara lebih lanjut ketentuan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.

Selain menteri muatan perda dapat memuat materi muatan local sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan dan materi muatan perda

berpedoman pada ketentuan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara

kesatuan republik Indonesia. Pembentukan perda mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam

pembentukan perda. Pembentukan perda dilakukan secara efektif dan efisien. Perda dapat

memuat ketentuan tentang pembenahan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan perda

seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

atau denda paling banyakn Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perda dapat

memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Selain sanksi perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan

pada keadaan semula dan sanksi administrative. Sanksi administratif berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis;

c. Penghentian sementara kegiatan;

d. Penghentian tetap kegiatan;

e. Pencabutan sementara izin;

f. Pencabuatan etatp izin;

g. Denda administrative; dan/atau

h. Sanksi adiministratif lain sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan.

Perencanaan penyusunan perda dilakukan dalam program pembentukan perda.

Program perda disusun oleh DPRD dan kepala daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun

berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda. Program pembentukan perda

ditetapkan dengan keputusan DPRD. Penyusunan dan penetapan program pembentukan

perda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan perda tentang APBD. Dalam

program pembentukan perda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

a. Akibat putusan mahkamah agung; dan

b. APBD.

Selain daftar kumulatif terbuka, dalam program pembentukan perda

Kabupaten/Kota dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai:

a. Penataan kecamatan; dan

b. Penataan desa.

Dalam keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat mengajukan rancangan

perda di luar program pembentukan perda karena alasan:

a. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencan alam;

b. Menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;

c. Mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu

rancangan perda yang dapat disetujui bersama oleh alat kkelengkapan DPRD

yang khusus menangani bidang pembentukan perda dan unit yang menangani

bidang hukum pada pemerintah daerah;

d. Akibat pembatalan oleh menteri untuk perda provinsi dan oleh gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat untuk perda Kabupaten/Kota; dan

e. Perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah

program pembentukan perda ditetapkan.

Penyusunan rancangan perda dilakukan berdasarkan program pembentukan perda.

Penyusunan rancangan perda dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Penyusunan

rancangan perda berpedoman pada ketentuan peratuan perundang-undangan. Pembahasan

rancangan perda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat pembicaraan.

Pembahasan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Rancangan

perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh

pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk dditetapkan menjadi perda.

Penyampaian rancangan perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 hari

terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Gubernur wajib menyampaikan rancangan

perda provinsi kepada menteri paling lama 3 hari terhitung sejak menerima rancangan

perda provinsi dari pimpinan DPRD provinsi untuk mendapatkan nomor register perda.

Bupati/walikota wajib menyampaikan rancangan perda kabupaten/kota kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat paling lama 3 hari terhitung sejak menerima rancangan

perda kabupaten/kota dari pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor

register perda. Menteri memberikan nomor register rancangan perda kabupaten/kota

paling lama 7 hari sejak rancangan perda diterima.

Rancangan perda yang telah mendapat nomor register ditetapkan oleh kepala

daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lama 30 hari sejak rancangan perda

disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Dalam hal kepala daerah tidak

mentandatangani rancangan perda yang telah mendapat nomor register, rancangan perda

tersebut sah menjadi perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah. Rancangan

perda dinyatakan sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi harus dibubuhkan pada

halaman terakhir perda sebelum pengundangan naskah perda ke dalam lembaran daerah.

Rancangan perda yang belum mendapatkan nomor register belum dapat ditetapkan kepala

daerah dan belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah. Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat secara berkala menyampaikan laporan perda kabupaten/kota yang telah

mendapatkan nomor register kepada menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pemberian nomor reegister perda diatur dengan peraturan menteri.

Perda diundangkan dalam lembaran daerah. Pengundangan perda dalam lembaran

daerah dilakukan oleh sekretaris daerah. Perda mulai berlaku dan mempunyai kekuatan

mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam perda yang

bersangkutan. Rancangan perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi

daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi menteri sebelum ditetapkan oleh

Gubernur. Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan perda provinsi tentang tata

ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

bidang keuangan dan untuk evaluasi rancangan perda provinsi tentang tata ruang daerah

berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata

ruang.

Rancangan perda kaupaten kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah , retribusi

daerah, dan tata ruang daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2012

TENTANG

PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,

dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu

melaksanakan pembangunan;

 

b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk

kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya

dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan,

demokratis, dan adil;

 

c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin

perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan;

 

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang

tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 28G ayat (1),

Pasal 28H, Pasal 28I ayat (5), Pasal 28J ayat (2), serta Pasal 33 ayat

(3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

 

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 2034);

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI

PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan.

 

1. Instansi adalah lembaga negara, kementerian dan lembaga

pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik

Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah.

 

2. Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara

memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang

berhak.

 

3. Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek

pengadaan tanah.

 

4. Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah

tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah,

atau lainnya yang dapat dinilai.

 

5. Hak atas Tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang akan ditetapkan

dengan undang-undang.

 

6. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan

masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

7. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegangnya.

 

8. Konsultasi Publik adalah proses komunikasi dialogis atau

musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai

kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

 

9. Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari

pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.

 

10. Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak

yang berhak dalam proses pengadaan tanah.

 

11. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang

perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan

profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri

Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan

untuk menghitung nilai /harga objek pengadaan tanah.

 

12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah

Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

 

13. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan

perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.

 

14. Lembaga Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang pertanahan.

 

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

 

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan

asas:

 

a. kemanusiaan;

 

b. keadilan;

 

c. kemanfaatan;

 

d. kepastian;

 

e. keterbukaan;

 

f. kesepakatan;

 

g. keikutsertaan;

 

h. kesejahteraan;

 

i. keberlanjutan; dan

 

j. keselarasan.

 

Pasal 3

 

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat

dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

 

BAB III

POKOK-POKOK PENGADAAN TANAH

Pasal 4

 

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya

tanah untuk Kepentingan Umum.

 

(2) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya

pendanaan untuk Kepentingan Umum.

 

Pasal 5

 

Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti

Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

 

Pasal 6

 

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan oleh

Pemerintah.

 

Pasal 7

 

(1) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai

dengan:

   

a. Rencana Tata Ruang Wilayah;

   

b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;

   

c. Rencana Strategis; dan

   

d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.

 

(2) Dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak,

gas, dan panas bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan

Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan

tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.

 

(3) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan

melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan

pemangku kepentingan.

 

Pasal 8

 

Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah

untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-

Undang ini.

 

Pasal 9

 

(1) Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan

dan kepentingan masyarakat.

 

(2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan

pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.

 

BAB IV

PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 10

 

Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

 

a. pertahanan dan keamanan nasional;

 

b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,

dan fasilitas operasi kereta api;

 

c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran

pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

 

d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

 

e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

 

f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

 

g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

 

h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

 

i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

 

j. fasilitas keselamatan umum;

 

k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;

 

l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;

 

m. cagar alam dan cagar budaya;

 

n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

 

o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,

serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan

status sewa;

 

p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

 

q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

 

r. pasar umum dan lapangan parkir umum.

 

Pasal 11

 

(1) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh Pemerintah

dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah

Daerah.

 

(2) Dalam hal Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah

Badan Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi milik Badan Usaha

Milik Negara.

 

Pasal 12

 

(1) Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan

Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik

Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.

 

(2) Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan nasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, pembangunannya

diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

 

Pasal 13

 

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui

tahapan:

 

a. perencanaan;

 

b. persiapan;

 

c. pelaksanaan; dan

 

d. penyerahan hasil.

 

Bagian Kedua

Perencanaan Pengadaan Tanah

Pasal 14

 

(1) Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan

Tanah untuk Kepentingan Umum inenurut ketentuan peraturan

perundang-undangan.

 

(2) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata

Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis,

Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.

 

Pasal 15

 

(1) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disusun dalam

bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang paling sedikit

memuat:

   

a. maksud dan tujuan rencana pembangunan;

   

b. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana

Pembangunan Nasional dan Daerah;

   

c. letak tanah;

   

d. luas tanah yang dibutuhkan;

   

e. gambaran umum status tanah;

   

f. perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;

   

g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;

   

h. perkiraan nilai tanah; dan

   

i. rencana penganggaran.

 

(2) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disusun berdasarkan studi kelayakan yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

 

(3) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) ditetapkan oleh Instansi yang memerlukan tanah.

 

(4) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diserahkan kepada pemerintah provinsi.

 

Bagian Ketiga

Persiapan Pengadaan Tanah

Pasal 16

 

Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi

berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:

 

a. pemberitahuan rencana pembangunan;

 

b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan

 

c. Konsultasi Publik rencana pembangunan.

 

Pasal 17

 

Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 16 huruf a disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi

pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik langsung maupun tidak

langsung.

 

Pasal 18

 

(1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan

data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.

 

(2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

pemberitahuan rencana pembangunan.

 

(3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai data untuk pelaksanaan

Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 huruf c.

 

Pasal 19

 

(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan

kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak.

 

(2) Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena

dampak serta dilaksanakan di temp at rencana pembangunan

Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.

 

(3) Pelibatan Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh

Pihak yang Berhak atas lokasi rencana pembangunan.

 

(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam bentuk berita acara kesepakatan.

 

(5) Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan

penetapan lokasi kepada gubernur.

 

(6) Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang

memerlukan tanah.

 

Pasal 20

 

(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam

puluh) hari kerja.

 

(2) Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja

pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdapat pihak yang keberatan mengenai

rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik ulang

dengan pihak yang ke beratan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

 

Pasal 21

 

(1) Apabila dalam Konsultasi Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat (2) masih terdapat pihak yang keberatan mengenai

rencana lokasi pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah

melaporkan keberatan dimaksud kepada gubernur setempat.

 

(2) Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan

rencana lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

   

a. sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai

ketua merangkap anggota;

   

b. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai

sekretaris merangkap anggota;

   

c. instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan

pembangunan daerah sebagai anggota;

   

d. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia sebagai anggota;

   

e. bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk  sebagai anggota; dan

   

f. akademisi sebagai anggota.

 

(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas:

   

a. menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;

   

b. melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang

keberatan; dan

   

c. membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan.

 

(5) Hasil kajian tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa

rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi

pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak diterimanya permohonan oleh gubernur.

 

(6) Gubernur berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas

rencana lokasi pembangunan.

 

Pasal 22

 

(1) Dalam hal ditolaknya keberatan pembangunan sebagaimana Pasal

21 ayat (6), gubernur pembangunan.

 

(2) Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana lokasi pembangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), gubernur

memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan tanah untuk

mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.

 

Pasal 23

    (1) Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih

terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap penetapan lokasi

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

dikeluarkannya penetapan lokasi.

 

(2) Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya

gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan.

 

(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling

lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

 

(4) Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

 

(5) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

menjadi dasar diteruskan atau tidaknya Pengadaan Tanah bagi

pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Pasal 24

 

Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan dalam

waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.

 

Pasal 25

 

Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi pembangunan untuk

Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak

terpenuhi, penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum

dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai

pengadaannya.

 

Pasal 26

 

(1) Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah mengumumkan

penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan

untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di lokasi tersebut

akan

dilaksanakan pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Bagian Keempat

Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Paragraf 1

Umum

Pasal 27

 

(1) Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Instansi

yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan

Tanah kepada Lembaga Pertanahan.

 

(2) Pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi:

   

a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatan tanah;

   

b. penilaian Ganti Kerugian;

   

c. musyawarah penetapan Ganti Kerugian;

   

d. pemberian Ganti Kerugian; dan

   

e. pelepasan tanah Instansi.

 

(3) Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pihak yang Berhak

hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang

memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

 

(4) Beralihnya hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan

dengan memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan saat

nilai pengumuman penetapan lokasi.

 

Paragraf 2

Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan,

Penggunaan, serta Pemanfaatan Tanah

Pasal 28

 

(1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat

(2) huruf a meliputi kegiatan:

   

a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan

   

b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan

Tanah.

 

(2) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

 

Pasal 29

 

(1) Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28 wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor

kecamatan, dan tempat Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu

paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

 

(2) Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28 wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau

keseluruhan.

 

(3) Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) meliputi subjek hak, luas, letak, dan peta

bidang tanah Objek Pengadaan Tanah.

 

(4) Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (3), Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan

kepada Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14 (empat

belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi.

 

(5) Dalam hal terdapat keberatan atas hasil inventarisasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam

waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.

 

(6) Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 30

 

Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan dan selanjutnya

menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam pemberian Ganti

Kerugian.

 

Paragraf 3

Penilaian Ganti Kerugian

Pasal 31

 

(1) Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

 

(2) Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melaksanakan penilaian

Objek Pengadaan Tanah.

 

Pasal 32

 

(1) Penilai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat

(1) wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah

dilaksanakan.

 

(2) Pelanggaran terhadap kewajiban Penilai sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

 

Pasal 33

 

Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang per bidang tanah,

meliputi:

 

a. tanah;

 

b. ruang atas tanah dan bawah tanah;

 

c. bangunan;

 

d. tanaman;

 

e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan /atau

 

f. kerugian lain yang dapat dinilai.

 

Pasal 34

 

(1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan

lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26.

 

(2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga

Pertanahan dengan berita acara.

 

(3) Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar musyawarah

penetapan Ganti Kerugian.

 

Pasal 35

 

Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah

terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan

dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian

secara utuh atas bidang tanahnya.

 

Pasal 36

 

Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:

 

a. uang;

 

b. tanah pengganti;

 

c. permukiman kembali;

 

d. kepemilikan saham; atau

 

e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

 

Paragraf 4

Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian

Pasal 37

    (1) Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang

Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil

penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan

untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian

berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 34.

 

(2) Hasil kesepakatan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang

Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.

 

Pasal 38

 

(1) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau

besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan

keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling

lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan

Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).

 

(2) Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti

Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

diterimanya pengajuan keberatan.

 

(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

 

(4) Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

 

(5) Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti

Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

 

Pasal 39

 

Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti

Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), karena hukum Pihak yang Berhak

dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).

 

Paragraf 5

Pemberian Ganti Kerugian

Pasal 40

 

Pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan

langsung kepada Pihak yang Berhak.

 

Pasal 41

    (1) Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan

hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/ atau putusan pengadilan

negeri/Mahkamah  Agung  sebagaimana  dimaksud  dalam   Pasal 38

ayat (5).

 

(2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima

Ganti Kerugian wajib:

   

a. melakukan pelepasan hak; dan

   

b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek

Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah

melalui Lembaga Pertanahan.

 

(3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-

satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu

gugat di kemudian hari.

 

(4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab

atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan

yang diserahkan.

 

(5) Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah

diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pihak yang Berhak

menerima Ganti Kerugian.

 

(6) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 42

 

(1) Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/ atau besarnya

Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri /

Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti

Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.

 

(2) Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), juga dilakukan terhadap:

   

a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui

keberadaannya; atau

   

b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:

     

1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;

     

2. masih dipersengketakan kepemilikannya;

     

3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau

        4. menjadi jaminan di bank.

 

Pasal 43

 

Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah

dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di

pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),

kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus

dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi

tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

 

Pasal 44

 

(1) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian atau Instansi yang

memperoleh tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan

Umum dapat diberikan insentif perpajakan.

 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif perpajakan diatur oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya.

 

Paragraf 6

Pelepasan Tanah Instansi

Pasal 45

 

(1) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang

dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang milik

negara/ daerah.

 

(2) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang

dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha

Milik Negara /Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan

Undang-Undang ini.

 

(3) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau

pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu.

 

Pasal 46

 

(1) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:

   

a. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang

dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas

pemerintahan;

   

b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/ dikuasai oleh Badan Usaha

Milik Negara /Badan Usaha Milik Daerah; dan /atau

   

c. Objek Pengadaan Tanah kas desa.

 

(2) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c diberikan dalam bentuk

tanah dan/ atau bangunan atau relokasi.

 

(3) Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36.

 

(4) Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(3) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).

 

Pasal 47

 

(1) Pelepasan objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45 dan Pasal 46 dilaksanakan paling lama 60 (enam puluh)

hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum.

 

(2) Apabila pelepasan objek Pengadaan Tanah belum selesai dalam

waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanahnya dinyatakan

telah dilepaskan dan menjadi tanah negara dan dapat langsung

digunakan untuk pembangunan bagi Kepentingan Umum.

 

(3) Pejabat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kelima

Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah

Pasal 48

 

(1) Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada

Instansi yang memerlukan tanah setelah:

   

a. pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan

Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2)

huruf a telah dilaksanakan; dan/atau

   

b. pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).

 

(2) Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan

pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil Pengadaan

Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 49

 

(1) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena keadaan

mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas,

dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya

setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum.

 

(2) Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu disampaikan

pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak.

 

(3) Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan

Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat

melaksanakan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

 

Pasal 50

    Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah yang telah

diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Bagian Keenam

Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 51

    (1) Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

dilakukan oleh Pemerintah.

    (2) Pemantauan dan evaluasi hasil penyerahan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum yang telah diperoleh, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 48 ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Pertanahan.

 

BAB V

SUMBER DANA PENGADAAN TANAH

Bagian Kesatu

Sumber Pendanaan

Pasal 52

    (1) Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    (2) Dalam hal Instansi yang memerlukan tanah Badan Hukum Milik

Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan

khusus, pendanaan bersumber dari internal perusahaan atau sumber

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

(3) Penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 53

 

(1) Dana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52

meliputi dana:

      a. perencanaan;

      b. persiapan;

      c. pelaksanaan;

      d. penyerahan hasil;

      e. administrasi dan pengelolaan; dan

   

f. sosialisasi.

    (2) Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilakukan

oleh Instansi dan dituangkan dalam dokumen penganggaran sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3) Ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan pendanaan

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diatur dengan

Peraturan Presiden.

    Bagian Kedua

Penyediaan dan Penggunaan Pendanaan

Pasal 54

    Jaminan ketersediaan pendanaan bagi Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum dialokasikan oleh Instansi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

    BAB VI

HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 55

    Dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah, Pihak yang Berhak

mempunyai hak:

    a. mengetahui rencana penyelenggaraan Pengadaan Tanah; dan

    b. memperoleh informasi mengenai Pengadaan Tanah.

    Pasal 56

    Dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,

setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

    Pasal 57

    Dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,

masyarakat dapat berperan serta, antara lain:

    a. memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai

Pengadaan Tanah; dan

    b. memberikan dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah.

    BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

    a. proses Pengadaan Tanah yang sedang dilaksanakan sebelum

berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan berdasarkan ketentuan

sebelum berlakunya Undang-Undang ini;

    b. sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dalam proses

Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

pengadaannya diselesaikan berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang ini; dan

    c. peraturan perundang-undangan mengenai tata cara Pengadaan

Tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan Undang-

Undang ini.

    BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 59

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pengadaan Tanah

bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diatur dengan Peraturan

Presiden.

    Pasal 60



    Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama

1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

    Pasal 61

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

   



            Disahkan di Jakarta

            pada tanggal 14 Januari

2012

            PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA,

           

                                 Ttd.

           

            DR. H. SUSILO

BAMBANG

YUDHOYONO

makalah percobaan, menurut KUHP Korea, Thailand, Rusia, China, Indonesia

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PERCOBAAN DALAM PIDANA” Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Yang Telah Diberikan Oleh Dosen Pemb...