PERJANJIAN
Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.
Definisi Perjanjian - Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si
berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si
berhutang.
Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti
bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak
dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian
itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis. (Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti,
1987, Cet. Ke-4, h.6)
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama
artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan
yang tertulis.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan
itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada
juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan
nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang
lahir dari "undang-undang".
Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber
perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan adalah
suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu
peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat
membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu
perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak
yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan
oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang
mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu
perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah
mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.
Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
memenuhi tuntutan itu.
Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat
dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini
merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini
dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.
Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam
perikatan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan bersyarat.
Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut
hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265
KUHPerdata.
Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa
yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu.
Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan
lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau
perikatan.
suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari
sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah
dibuat untuk kepentingan si berpiutang. Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang
ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar
sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.
3. Perikatan mana suka (alternatif).
Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu
dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si
berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang
lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan
kepada berpiutang.
4. Perikatan tanggung menanggung atau solider.
Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal
beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap
debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat
di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.
Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur,
membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan
kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang
lainnya. Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka
terserah kepada si berutang, untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak
membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.
Adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka
boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu
terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan
dari maksudnya perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan
untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat
dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa
kehilangan hakekatnya.Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi
menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat
dibagi, misalnya perikatan untuk membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut
sifatnya dapat dibagi, misalnya kalau jarak antara tempat tersebut 200 Km, adalah
mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-
masing 100 Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat
seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh karena
itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.
6. Perikatan dengan ancaman hukuman.
Perikatan semacam ini adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang
untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila
perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya.
Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau
dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau
menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk
membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian
yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si
berpiutang.
Dalam perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya
ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309,
hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila
perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan
kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau
berat.
Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan
azas konsensualisme dalam hukum perjanjian.
Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum
perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak
atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu
bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang
dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh
disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka
diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka
adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari
hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak
lengkap.
Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam
KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya".
Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan
suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan
berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang
membuatnya seperti undang-undang.
Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian,
bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan
perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme.
Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme
bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya!
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal.
Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah
diperlukan sesuatu formalitas.
Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil".
Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan
perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris
(perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian
yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang
berbunyi:
"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal".
Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping
kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah
(dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjianitu.
Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata
menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian.
Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam,
harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :
1. Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);
2. Kekhilafan;
3. Penipuan.
Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan
secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.
Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330
KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan
ketidakwenangan (onbevoegheid).
Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan
undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya
anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan
ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan
dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya
dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.
Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang
immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh dokter dan
sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa
saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang
masih belum bisa dipanen.
INTERNASIONAL
Internasional adalah sesuatu yang menyangkut lebih dari satu negara. Sesuatu tersebut
bisa berupa sebuah perusahaan, bahasa, atau organisasi. Arti internasional sebagai sebuah kata
berarti interaksi antara lebih dari satu negara, atau melampaui batas negara. Salah satu contohnya
adalah hukum internasional yang telah diakui oleh lebih dari satu negara atau bahkan hampir
semua negara di dunia dan juga bahasa internasional yang merupakan bahasa yang dituturkan
oleh penduduk di lebih dari satu negara. Dalam bahasa Indonesia, internasional disebut juga
“manca negara” atau “luar negeri”. Kata “internasional” sesekali digunakan sebagai sinonim kata
“global” atau “dunia”. Pengertian Internasional Dalam Berbagai Bidang
Kata internasional juga digunakan di dalam berbagai bidang seperti berikut:
1. Dalam bidang olahraga, “internasional” adalah pertandingan antara dua tim nasional atau
antara dua/lebih orang/tim yang berbeda kewarganegaraan.
2. Dalam bidang politik, “internasional” mungkin merujuk kepada “politik internasional”.
3. Dalam bidang hukum, “internasional” mungkin merujuk pada beberapa disiplin hukum
internasional seperti hukum publik internasional, hukum kriminal internasional, dll.
4. Dalam bidang seni, gerakan seni internasional adalah gerakan seni yang dilakukan oleh
seniman di lebih dari satu negara.
PERJANJIAN INTERNASIONAL
Perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama atau primer dari hukum
internasional. Sebagai sumber hukum utama, perjanjian internasional memberikan jaminan
hukum bagi subjek-subjek hukum internasional (Baca: pengertian perjanjian internasional).
A. Klasifikasi Perjanjian Internasional
Menurut subjeknya, perjanjian internasional dibedakan menjadi 2, yaitu perjanjian
bilateral dan perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral, adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat atau diadakan oleh dua
negara.
Perjanjian multilateral, adalah suatu bentuk perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua
negara.
Menurut fungsinya, perjanjian internasional dikelompokkan menjadi 2, yaitu perjanjian
yang membentuk hukum dan perjanjian yang bersifat khusus.
Perjanjian yang membentuk hukum (law making treaties), yaitu suatu perjanjian yang
meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
Perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract), yaitu perjanjian yang menimbulkan hak
dan kewajiban bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja.
Menurut prosesnya, terdapat 2 macam perjanjian internasional, yaitu perjanjian yang bersifat
penting dan perjanjian yang bersifat sederhana.
1. Perjanjian yang bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan,
penandatanganan, dan ratifi kasi.
2. Perjanjian yang bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahapan, yaitu perundingan
dan penandatanganan.
B. Istilah dalam Perjanjian Internasional
Perkembangan sejarah perjanjian internasional telah menunjukkan makin kompleksnya
subjek maupun objek perjanjian internasional. Hal ini menimbulkan banyaknya istilah perjanjian
internasional seperti berikut.
1. Traktat (treaty)
Traktat (treaty) yaitu suatu perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mencapai
hubungan hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama. Dalam hal ini, masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang mengikat dan mutlak, dan harus diratifikasi.
Istilah traktat digunakan dalam perjanjian internasional yang bersifat politis. Misalnya, Treaty
Contract tentang penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan tahun 1955, antara pihak
Indonesia-RRC. Dan pada tahun 1990 antara RI dengan Australia juga menandatangani suatu
traktat tentang batas landas kontinen dan eksplorasi di celah Timor, yang dikenal dengan
perjanjian “Celah Timor”.
2. Agreement
Agreement yaitu suatu perjanjian/persetujuan antara dua negara atau lebih, yang
mempunyai akibat hukum seperti dalam treaty. Namun dalam agreement lebih bersifat
eksekutif/teknis administrative (non politis), dan tidak mutlak harus diratifikasi, yaitu tidak perlu
diundangkan dan disahkan oleh pemerintah/ kepala negara. Walaupun ada agreement yang
dilakukan oleh kepala negara, namun pada prinsipnya cukup dilakukan dengan ditandatangani
oleh wakil-wakil departemen dan tidak perlu ratifikasi. Misalnya, agreement tentang ekspor
impor komoditas tertentu.
3. Konvensi
Konvensi yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang lazim digunakan dalam perjanjian
multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara keseluruhan
(lawmaking treaty). Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di Montego-
Jamaica.
4. Protokol
Protokol yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang kurang resmi dibandingkan dengan
traktat dan konvensi, sebab protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti
penafsiran klausul-klausul atau persyaratan perjanjian tertentu. Oleh karena itu, lazimnya tidak
dibuat oleh kepala negara. Contohnya, protokol Den Haag tahun 1930 tentang perselisihan
penafsiran undang-undang nasionalitas tentang wilayah perwalian, dan lain-lain.
5. Piagam (statuta)
Piagam (statuta) yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan sebagai persetujuan
internasional, baik mengenai lapangan-lapangan kerja internasional maupun mengenai anggaran
dasar suatu lembaga. Misalnya Statuta of The International Court of Justice pada tahun 1945.
Adakalanya piagam itu digunakan untuk alat tambahan/lampiran pada konvensi. Umpamanya
Piagam Kebebasan Transit yang dilampirkan pada Convention of Barcelona tahun 1921.
6. Charter
Charter yaitu piagam yang digunakan untuk membentuk badan tertentu. Misalnya, The
Charter of The United Nation tahun 1945 dan Atlantic Charter tahun 1941.
7. Deklarasi (declaration)
Deklarasi (declaration) yaitu suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau
menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum baru. Misalnya
Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.
8. Covenant
Covenant yaitu suatu istilah yang digunakan dalam pakta Liga Bangsa- Bangsa pada
tahun 1920, yang bertujuan untuk menjamin terciptanya perdamaian dunia, meningkatkan kerja
sama internasional, dan mencegah terjadinya peperangan.
9. Ketentuan penutup (final act)
Ketentuan penutup (final act) yaitu suatu dokumen yang mencatat ringkasan hasil
konferensi. Di sini disebutkan tentang negara-negara peserta dan nama-nama utusan yang ikut
berunding serta tentang hal-hal yang disetujui dalam konferensi itu, termasuk interpretasi
ketentuan-ketentuan hasil konferensi.
10. Modus vivendi
Modus vivendi adalah suatu dokumen yang mencatat persetujuan internasional yang
bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan secara permanen. Modus vivendi tidak
memerlukan ratifikasi. Modus vivendi ini biasanya digunakan untuk menandai adanya perjanjian
yang baru dirintis.
C. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan
bahwa dalam pembuatan perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Perundingan (negotiation)
Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tertentu yang
berkepentingan, di mana sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu,
diadakan penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak
yang berkepentingan. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh pejabat
yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers). Selain mereka, juga dapat dilakukan
oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau duta besar.
2. Penandatanganan (signature)
Penandatanganan naskah perjanjian dilakukan oleh para menteri luar negeri atau kepala
pemerintahan. Untuk penandatanganan teks perundingan yang bersifat multilateral dianggap sah
apabila 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali jika ditentukan lain. Namun
demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan masing-masing negara sebelum diratifi kasi.
3. Pengesahan (ratifi cation)
Ratifi kasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan perjanjian
internasional. Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah
disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Dengan dilakukannya ratifi kasi terhadap
perjanjian internasional, secara resmi perjanjian internasional dapat berlalu dan berkekuatan
hukum.
D. Asas Perjanjian Internasional
Ada bermacam-macam asas yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh subjek hukum
yang mengadakan perjanjian internasional. Asas-asas yang dimaksud seperti berikut ini.
1. Pacta Sunt Servanda, artinya setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati.
2. Egality Rights, artinya pihak yang saling mengadakan hubungan mempunyai kedudukan
yang sama.
3. Reciprositas, artinya tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal.
4. Bonafides, artinya perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh iktikad baik.
5. Courtesy, artinya asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara.
6. Rebus sic Stantibus, artinya dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar dalam
keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.
E. Batalnya Perjanjian Internasional
Dalam Konvensi Wina tahun 1969, suatu perjanjian internasional dapat dinyatakan batal
karena hal-hal berikut.
Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional oleh salah satu negara
peserta.
1. Adanya unsur kesalahan pada saat perjanjian itu dibuat.
2. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta yang lain
pada waktu pembentukan perjanjian.
3. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan atau
penyuapan.
4. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik dengan
ancaman atau dengan penggunaan kekuatan.
Bertentangan dengan kaidah dasar hukum internasional.
F. Berkahirnya Perjanjian Internasional
Ada beberapa sumber yang dapat kita jadikan acuan untuk mengenali hal-hal yang dapat
menyebabkan berakhirnya perjanjian internasional. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya
Pengantar Hubungan Kerja Sama Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir
karena hal-hal berikut.
1. Telah tercapai tujuan perjanjian internasional.
2. Masa berlaku perjanjian internasional sudah habis.
3. Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian.
4. Adanya persetujuan dari peserta untuk mengakhiri perjanjian.
5. Adanya perjanjian baru di antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian
yang terdahulu.
6. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian yang sesuai dengan ketentuan perjanjian
sudah dipenuhi.
7. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima
oleh pihak lain.
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Menurut J.G. Starke dalam buku Pengantar Hukum Internasional (An Introduction to
International Law) yang diterjemahkan oleh F. Isjwara (1972:201), hukum perjanjian
internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi
negara- negara peserta (para pihak) dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak
dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan Negara-negara untuk melaksanakan
dengan itikat baik kewajiban-kewajibannya.
Menurut saya hokum perjanjian internasional adalah perjanjian keperdataan yang melampaui
batas-negara dalam hal membangun hubungan kerjasama yang tidak menutupkemungkinan
Negara yang satu membutuhkan sumberdaya dari Negara yang bersangkutan atau juga perjanjian
itu berisikan tujuan yang sama dari Negara-negara yangt membuat perjanjian bersama tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
makalah percobaan, menurut KUHP Korea, Thailand, Rusia, China, Indonesia
MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PERCOBAAN DALAM PIDANA” Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Yang Telah Diberikan Oleh Dosen Pemb...
-
MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PERCOBAAN DALAM PIDANA” Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Yang Telah Diberikan Oleh Dosen Pemb...
-
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang semata-mata berkat rahmat, hidayah dan kebaikan-Nya, penuli...
-
PERDA DAN PERKADA A. Prosedur Umum Pembentukan Untuk menghailkan sebuah produk “peraturan daerah” yang baik dan sesuai dengan t...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar