Minggu, 18 Desember 2016

hukum perjanjian internasional

PERJANJIAN

Pengertian Perjanjian Secara Umum - Adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah

suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu.

Definisi Perjanjian -  Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si

berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si

berhutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum yang berarti

bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak

dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,

timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian

itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang

diucapkan atau ditulis. (Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti,

1987, Cet. Ke-4, h.6)

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan

sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama

artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan

yang tertulis.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan

itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada

juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan

nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari "perjanjian" dan ada perikatan yang

lahir dari "undang-undang".

Kesimpulan dari pembicaraan kita di atas, bahwa perjanjian itu merupakan sumber

perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan disitu dapat dilihat bahwa perikatan adalah

suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu

peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat

membayangkannya dalam alam pikiran kita, tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu

perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak

yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan

oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang

mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu

perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain, karena janji yang telah

mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.

Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana

pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban

memenuhi tuntutan itu.

Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat

dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini

merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini

dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.

Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam

perikatan yaitu sebagai berikut :

1.    Perikatan bersyarat.

Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang

masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan

lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara

membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa

tersebut.Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut

hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila

terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada

keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265

KUHPerdata.

Dengan demikian syarat batal itu mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa

yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

2.    Perikatan dengan ketetapan waktu.

Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak menangguhkan

lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan

pelaksanaannya atau pun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau

perikatan.

suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan berutang, kecuali dari

sifat perikatannya sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah

dibuat untuk kepentingan si berpiutang. Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang

ditentukan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba, tetapi apa yang telah dibayar

sebelum waktu itu datang, tidak dapat diminta kembali.

3.    Perikatan mana suka (alternatif).

Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu

dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si

berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang

lainnya, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan

kepada berpiutang.

4.    Perikatan tanggung menanggung atau solider.

Dalam perikatan jenis ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal

beberapa orang terdapat dipihak debitur (dan ini yang paling lazim), maka tiap-tiap

debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa terdapat

di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang.

Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur,

membebaskan debitur-debitur yang lainnya. Begitu pula pembayaran yang dilakukan

kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur yang

lainnya. Dalam hal si berutang berhadapan dengan beberapa orang kreditur, maka

terserah kepada si berutang, untuk memilih kepada kreditur yang mana ia hendak

membayar utangnya selama ia belum digugat oleh salah satu.

5.    Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi.

Adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidka

boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu

terbawa oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan

dari maksudnya perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan

untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tidak dapat

dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa

kehilangan hakekatnya.Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi

menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat

dibagi, misalnya perikatan untuk membuat suatu jalan raya antara dua tempat, menurut

sifatnya dapat dibagi, misalnya kalau jarak antara tempat tersebut 200 Km, adalah

mungkin untuk membagi pekerjaan yang telah diborong itu dalam dua bagian, masing-

masing 100 Km. Tetapi menurut maksud perjanjian jelas pekerjaan tersebut harus dibuat

seluruhnya, jika tidak demikian tujuan pemborong itu tidak akan tercapai. Oleh karena

itu perikatan tadi adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi.

6.    Perikatan dengan ancaman hukuman.

Perikatan semacam ini adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang

untuk jaminan pelaksanaan perikatannya diwajibkan melakukan sesuatu apabila

perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya.

Pengganti kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau

dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud. Pertama; untuk mendorong atau

menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi kewajibannya. Kedua; untuk

membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian

yang dideritanya. Sebab berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si

berpiutang.

Dalam perjanjian-perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya

ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang-kadang terlampau berat. Menurut pasal 1309,

hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila

perjanjiannya telah sebagian dipenuhi. Dengan demikian, asal debitur sudah mulai mengerjakan

kewajibannya, hakim leluasa untuk meringankan hukuman, apabila itu dianggapnya terlampau

berat.

Dalam perikatan dikenal dua macam sistem yaitu sebagai berikut: sistem terbuka dan

azas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan hukum

perjanjian menganut sistem terbuka, artinya yang dimaksud dengan tertutup macam-macam hak

atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu

bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya

kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar

ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang

dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh

disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka

diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka

adakan itu. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari

hukum perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak

lengkap.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam

KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1, yang berbunyi :

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya".

Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan

suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan

berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang

membuatnya seperti undang-undang.

Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian,

bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan

perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme.

Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme

bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya!

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat

mengenai sesuatu hal.

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul

karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,

perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah

diperlukan sesuatu formalitas.

Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil".

Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan

perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris

(perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian

yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai

kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yang

berbunyi:

"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1.     sepakat mereka yang mengikat dirinya;

2.     Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3.     Suatu hal tertentu;

4.     Suatu sebab yang halal".

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping

kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah

(dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari

perjanjianitu.

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pada Pasal 1320 KUHPerdata

menetapkan empat syarat untuk sahnya suatu perikatan, yaitu :

1.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.     Suatu hal tertentu;

4.     Suatu sebab yang halal.

Persetujuan dari pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian atau dengan kata lain, dapat

dikatakan bahwa kedua pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian.

Persetujuan masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan secara diam-diam,

harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti :

1.     Paksaan (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata);

2.     Kekhilafan;

3.     Penipuan.

Persetujuan dua pihak ini harus diberitahukan kepada pihak lainnya, dapat dikatakan

secara tegas-tegas dan dapat pula secara tidak tegas.

Kecakapan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1329 - 1330

KUHPerdata). Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang siapa yang dianggap tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian. Dalam hal ini dibedakan antara ketidakcakapan (onbekwaam heid) dan

ketidakwenangan (onbevoegheid).

Ketidakcakapan terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan

undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian dengan sempurna, misalnya

anak-anak yang belum cukup umur, mereka yang ditempatkan dibawah pengampuan. Sedangkan

ketidak-wenangan terdapat bila seseorang, walaupun pada dasarnya cakap untuk mengikatkan

dirinya namun tidak dapat atau tanpa kuasa dari pihak ketiga, tidak dapat melakukan perbuatan-

perbuatan hukum tertentu. Akibat ketidakwenangan oleh undang-undang tidak diatur, hanya

dilihat untuk setiap peristiwa, apakah akibatnya dan harus diperhatikan maksudnya.

Suatu hal tertentu, Pasal 1332 KUHPerdata, yaitu barang-barang yang dapat

diperdagangkan.  Barang-barang tersebut tidak hanya berupa barang material, tetapi juga barang

immaterial, misalnya perjanjian untuk memberikan les piano, pemeriksaan oleh dokter dan

sebagainya. Prestasinya harus tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jumlahnya bisa

saja tidak pasti asal kemudian dapat dipastikan, umpamanya menjual hasil panen diladang yang

masih belum bisa dipanen.

INTERNASIONAL

Internasional adalah sesuatu yang menyangkut lebih dari satu negara. Sesuatu tersebut

bisa berupa sebuah perusahaan, bahasa, atau organisasi. Arti internasional sebagai sebuah kata

berarti interaksi antara lebih dari satu negara, atau melampaui batas negara. Salah satu contohnya

adalah hukum internasional yang telah diakui oleh lebih dari satu negara atau bahkan hampir

semua negara di dunia dan juga bahasa internasional yang merupakan bahasa yang dituturkan

oleh penduduk di lebih dari satu negara. Dalam bahasa Indonesia, internasional disebut juga

“manca negara” atau “luar negeri”. Kata “internasional” sesekali digunakan sebagai sinonim kata

“global” atau “dunia”. Pengertian Internasional Dalam Berbagai Bidang

Kata internasional juga digunakan di dalam berbagai bidang seperti berikut:

1. Dalam bidang olahraga, “internasional” adalah pertandingan antara dua tim nasional atau

antara dua/lebih orang/tim yang berbeda kewarganegaraan.

2. Dalam bidang politik, “internasional” mungkin merujuk kepada “politik internasional”.

3. Dalam bidang hukum, “internasional” mungkin merujuk pada beberapa disiplin hukum

internasional seperti hukum publik internasional, hukum kriminal internasional, dll.

4. Dalam bidang seni, gerakan seni internasional adalah gerakan seni yang dilakukan oleh

seniman di lebih dari satu negara.

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama atau primer dari hukum

internasional. Sebagai sumber hukum utama, perjanjian internasional memberikan jaminan

hukum bagi subjek-subjek hukum internasional (Baca: pengertian perjanjian internasional).

A. Klasifikasi Perjanjian Internasional

Menurut subjeknya, perjanjian internasional dibedakan menjadi 2, yaitu perjanjian

bilateral dan perjanjian multilateral.

Perjanjian bilateral, adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat atau diadakan oleh dua

negara.

Perjanjian multilateral, adalah suatu bentuk perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua

negara.

Menurut fungsinya, perjanjian internasional dikelompokkan menjadi 2, yaitu perjanjian

yang membentuk hukum dan perjanjian yang bersifat khusus.

Perjanjian yang membentuk hukum (law making treaties), yaitu suatu perjanjian yang

meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.

Perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract), yaitu perjanjian yang menimbulkan hak

dan kewajiban bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja.

Menurut prosesnya, terdapat 2 macam perjanjian internasional, yaitu perjanjian yang bersifat

penting dan perjanjian yang bersifat sederhana.

1. Perjanjian yang bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan,

penandatanganan, dan ratifi kasi.

2. Perjanjian yang bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahapan, yaitu perundingan

dan penandatanganan.

B. Istilah dalam Perjanjian Internasional

Perkembangan sejarah perjanjian internasional telah menunjukkan makin kompleksnya

subjek maupun objek perjanjian internasional. Hal ini menimbulkan banyaknya istilah perjanjian

internasional seperti berikut.

1. Traktat (treaty)

Traktat (treaty) yaitu suatu perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mencapai

hubungan hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama. Dalam hal ini, masing-

masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang mengikat dan mutlak, dan harus diratifikasi.

Istilah traktat digunakan dalam perjanjian internasional yang bersifat politis. Misalnya, Treaty

Contract tentang penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan tahun 1955, antara pihak

Indonesia-RRC. Dan pada tahun 1990 antara RI dengan Australia juga menandatangani suatu

traktat tentang batas landas kontinen dan eksplorasi di celah Timor, yang dikenal dengan

perjanjian “Celah Timor”.

2. Agreement

Agreement yaitu suatu perjanjian/persetujuan antara dua negara atau lebih, yang

mempunyai akibat hukum seperti dalam treaty. Namun dalam agreement lebih bersifat

eksekutif/teknis administrative (non politis), dan tidak mutlak harus diratifikasi, yaitu tidak perlu

diundangkan dan disahkan oleh pemerintah/ kepala negara. Walaupun ada agreement yang

dilakukan oleh kepala negara, namun pada prinsipnya cukup dilakukan dengan ditandatangani

oleh wakil-wakil departemen dan tidak perlu ratifikasi. Misalnya, agreement tentang ekspor

impor komoditas tertentu.

3. Konvensi

Konvensi yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang lazim digunakan dalam perjanjian

multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara keseluruhan

(lawmaking treaty). Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di Montego-

Jamaica.

4. Protokol

Protokol yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang kurang resmi dibandingkan dengan

traktat dan konvensi, sebab protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti

penafsiran klausul-klausul atau persyaratan perjanjian tertentu. Oleh karena itu, lazimnya tidak

dibuat oleh kepala negara. Contohnya, protokol Den Haag tahun 1930 tentang perselisihan

penafsiran undang-undang nasionalitas tentang wilayah perwalian, dan lain-lain.

5. Piagam (statuta)

Piagam (statuta) yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan sebagai persetujuan

internasional, baik mengenai lapangan-lapangan kerja internasional maupun mengenai anggaran

dasar suatu lembaga. Misalnya Statuta of The International Court of Justice pada tahun 1945.

Adakalanya piagam itu digunakan untuk alat tambahan/lampiran pada konvensi. Umpamanya

Piagam Kebebasan Transit yang dilampirkan pada Convention of Barcelona tahun 1921.

6. Charter

Charter yaitu piagam yang digunakan untuk membentuk badan tertentu. Misalnya, The

Charter of The United Nation tahun 1945 dan Atlantic Charter tahun 1941.

7. Deklarasi (declaration)

Deklarasi (declaration) yaitu suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau

menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum baru. Misalnya

Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.

8. Covenant

Covenant yaitu suatu istilah yang digunakan dalam pakta Liga Bangsa- Bangsa pada

tahun 1920, yang bertujuan untuk menjamin terciptanya perdamaian dunia, meningkatkan kerja

sama internasional, dan mencegah terjadinya peperangan.

9. Ketentuan penutup (final act)

Ketentuan penutup (final act) yaitu suatu dokumen yang mencatat ringkasan hasil

konferensi. Di sini disebutkan tentang negara-negara peserta dan nama-nama utusan yang ikut

berunding serta tentang hal-hal yang disetujui dalam konferensi itu, termasuk interpretasi

ketentuan-ketentuan hasil konferensi.

10. Modus vivendi

Modus vivendi adalah suatu dokumen yang mencatat persetujuan internasional yang

bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan secara permanen. Modus vivendi tidak

memerlukan ratifikasi. Modus vivendi ini biasanya digunakan untuk menandai adanya perjanjian

yang baru dirintis.

C. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan

bahwa dalam pembuatan perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui

tahap-tahap sebagai berikut:

1. Perundingan (negotiation)

Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tertentu yang

berkepentingan, di mana sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu,

diadakan penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak

yang berkepentingan. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh pejabat

yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers). Selain mereka, juga dapat dilakukan

oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau duta besar.

2. Penandatanganan (signature)

Penandatanganan naskah perjanjian dilakukan oleh para menteri luar negeri atau kepala

pemerintahan. Untuk penandatanganan teks perundingan yang bersifat multilateral dianggap sah

apabila 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali jika ditentukan lain. Namun

demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan masing-masing negara sebelum diratifi kasi.

3. Pengesahan (ratifi cation)

Ratifi kasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan perjanjian

internasional. Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah

disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Dengan dilakukannya ratifi kasi terhadap

perjanjian internasional, secara resmi perjanjian internasional dapat berlalu dan berkekuatan

hukum.

D. Asas Perjanjian Internasional

Ada bermacam-macam asas yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh subjek hukum

yang mengadakan perjanjian internasional. Asas-asas yang dimaksud seperti berikut ini.

1. Pacta Sunt Servanda, artinya setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati.

2. Egality Rights, artinya pihak yang saling mengadakan hubungan mempunyai kedudukan

yang sama.

3. Reciprositas, artinya tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal.

4. Bonafides, artinya perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh iktikad baik.

5. Courtesy, artinya asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara.

6. Rebus sic Stantibus, artinya dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar dalam

keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.

E. Batalnya Perjanjian Internasional

Dalam Konvensi Wina tahun 1969, suatu perjanjian internasional dapat dinyatakan batal

karena hal-hal berikut.

Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional oleh salah satu negara

peserta.

1. Adanya unsur kesalahan pada saat perjanjian itu dibuat.

2. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta yang lain

pada waktu pembentukan perjanjian.

3. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan atau

penyuapan.

4. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik dengan

ancaman atau dengan penggunaan kekuatan.

Bertentangan dengan kaidah dasar hukum internasional.

F. Berkahirnya Perjanjian Internasional

Ada beberapa sumber yang dapat kita jadikan acuan untuk mengenali hal-hal yang dapat

menyebabkan berakhirnya perjanjian internasional. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya

Pengantar Hubungan Kerja Sama Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir

karena hal-hal berikut.

1. Telah tercapai tujuan perjanjian internasional.

2. Masa berlaku perjanjian internasional sudah habis.

3. Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian.

4. Adanya persetujuan dari peserta untuk mengakhiri perjanjian.

5. Adanya perjanjian baru di antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian

yang terdahulu.

6. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian yang sesuai dengan ketentuan perjanjian

sudah dipenuhi.

7. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima

oleh pihak lain.

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Menurut J.G. Starke dalam buku Pengantar Hukum Internasional (An Introduction to

International Law) yang diterjemahkan oleh F. Isjwara (1972:201), hukum perjanjian

internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi

negara- negara peserta (para pihak) dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak

dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan Negara-negara untuk melaksanakan

dengan itikat baik kewajiban-kewajibannya.

Menurut saya hokum perjanjian internasional adalah perjanjian keperdataan yang melampaui

batas-negara dalam hal membangun hubungan kerjasama yang tidak menutupkemungkinan

Negara yang satu membutuhkan sumberdaya dari Negara yang bersangkutan atau juga perjanjian

itu berisikan tujuan yang sama dari Negara-negara yangt membuat perjanjian bersama tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah percobaan, menurut KUHP Korea, Thailand, Rusia, China, Indonesia

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PERCOBAAN DALAM PIDANA” Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Yang Telah Diberikan Oleh Dosen Pemb...