Rabu, 25 Oktober 2017

makalah percobaan, menurut KUHP Korea, Thailand, Rusia, China, Indonesia

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

“PERCOBAAN DALAM PIDANA”

Dikerjakan Untuk Memenuhi
Tugas Yang Telah Diberikan Oleh
Dosen Pembimbing


OLEH
CALVIN EPAFRODITUS
THEM15



 Gambar terkait




KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
FAKULTAS HUKUM
MANADO
2017





KATA  PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan Nya, sehingga penulis masih bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktu yang ditentukan.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah pemerintahan desa yang telah diberikan oleh Dosen bidang studi, juga berguna sebagai media untuk belajar mengemukakan cara berfikir ilmiah berdasarkan pengalaman dan penelitian yang telah di laksanakan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kelemahan dan kekurangan barang kali tidak dapat terhindarkan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari manapun datangnya selalu penulisharapkan.
Sebagai penutup kata semoga makalah ini banyak memberikan manfaat bagi kita semua dan dapat memenuhi fungsinya sebagai mana yang diharapkan. Amin.










PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada umumnya kata percobaan atau poging, berarti suatu usaha mencapai suatu tujuanyang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.

Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya. Dan suatu perbuatan dapat dikatakan poging apabila memenuhi syarat-syarat, yaitu: adanya niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya perbutan bukan karena kehendak si pelaku.

B.      Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari percobaan? Menurut KUHP Korea, Thailand, Philipina, Rusia, China!
2.      Unsur-unsur percobaan!

C.     Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah agar lewat makalah ini dapat membantu perkembangan ilmu khususnya mengenai masalah percobaan, karena materi mengenai percobaan tidak dapat dipandang sebelah mata, oleh karena itu penulis berkeinginan dapat membahas tuntas tentang masalah ini.




DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Daftar Isi
BAB II Tinjauan Pustaka
A.    Pengertian percobaan
B.     Unsur-unsur percobaan
BAB III Pembahasan
A.  Percobaan menurut KUHP Korea
B.   Percobaan menurut KUHP Thailand
C.   Percobaan menurut KUHP Philipina
D.  Percobaan menurut KUHP Soviet Rusia
E.   Percobaan menurut KUHP Republik China
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran-saran
Daftar Pustaka






TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Percobaan
Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.
Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya.
Penjelasan lain mengenai definisi percobaan, berasal dari Memorie van Teolichting yaitu sebuah kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen”[3] yang artinya: ”Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah di wujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan”.
Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Kalau syarat-syarat percobaan ada, maka timbullah perbuatan pidana baru, meskipun dalam bentuk delik tidak selesai tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu bentuk perwujudan dari perbuatan pidana, sebab deliknya timbul, menampakkan diri, tetapi dalam bentuk belum selesai. Percobaan yang dapat dipidana mengandung arti perluasan dapat dipidananya delik tampak jelas dalam tuntutan jaksa yang menyebutkan rumusan Pasal nomor sekian juncto pasal 53 KUHP.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa percobaan memiliki dua definisi yang pertama, percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai. Yang kedua, percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan tindakan dari niat yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.

B.     Unsur-unsur Percobaan
Syarat-syarat suatu tindak pidana dapat disebut percobaan melakukan tindak pidana adalah:
a.       Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;
b.      Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
c.       Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.
Sebenarnya unsur “tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri” bukan merupakan unsur percobaan. Ini lebih merupakan alasan penghapus pidana. Jika pelaksanaan tidak selesai semata-mata karena kehendaknya sendiri, maka yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Alasan perbuatan itu tidak selesai karena ada hambatan di luar kehendak pelaku yaitu :
a.       Alat yang digunakan sama sekali tidak sempurna;
b.      Alat yang digunakan tak berfungsi dengan sempurna;
c.       Objek sama sekali tidak sempurna;
d.      Objek yang dituju kurang sempurna.









PEMBAHASAN
A.     Percobaan menurut KUHP Korea
Ketentuan mengenai percobaan diatur dalam pasal 25 s/d 29 yang termasuk dalam “Ketentuan-Ketentuan Umum” (Bagian1). Pasal 25 berbunyi sebagai berikut :

1.      Where a person commences the execution of a crime but does not complete it or the result does not accur, he shall be punished for attempt to commit such crime.
2.      The punishmant for an attempted crime may be decreased below that for the consummated crime.
Dari perumusan tersebut di atas terlihat bahwa unsur-unsur dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan, ialah apabila seseorang :

1.      Mulai melaksanakan suatu kejahatan, dan
2.      Pelaksanaan itu:
a)      Tidak diselesaikannya, atau
b)      Akibatnya tidak terjadi.

Dalam pasal 25 s/d 28 C.C. diatur ada 4 macam bentuk yang dimasukkan dalam percobaan yaitu :

1.      Percobaan tindak pidana, yang hampir sama dengan percobaan ala KUHP. Bedanya ialah percobaan pada C.C. adalah untuk melakukan tindak pidana (bukan kejahatan). Yang terpenting lagi ialah bahwa : tidak terselesaikannya tindak pidana itu atau terhentinya pelaksanaannya, tergantung atau tidak kepada kemauan sipetindak, tidak dipersoalkan. Pokoknya telah dimulai, kemudian tidak diselesaikan atau tidak terjadi akibat yang diperlakukannya.

2.      Tindak pidana yang dihentikan secara sukarela, yang lebih dekat lagi persyaratannya dengan percobaan ala KUHP, karena di sini dipersyaratkan kehendak sendiri dari petindak untuk memberhentikan tindakannya atau mencegah akibat dari tindakannya.
3.      Percobaan yang tidak wajar. Sama dengan yang dipelajari dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.

4.      Permufatan jahat dan makar.

      Ancaman Pidana bagi ke-4 hal di atas, tidak ada yang ditiadakan ancaman pidananya. Yang ditentukan hanya kemungkinan pengurangan yang secara khusus ditentukan pada pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan. (pasal 29 C.C.).

B.     Percobaan menurut KUHP Thailand
      Ketentuan mengenai percobaan diatur dalam pasal 80-82 Buku I mengenai “Ketentuan-Ketentuan Umum.” Syarat-syarat atau unsur-unsur dapat dipidananya percobaan dirumuskan dalam pasal 80 sebagai berikut :

1.      Whoever commences to commit an offence, but does not carry it through, or carries it through but does not achieve its end, is said to attempt to commit an affence. (Dikatakanmelakukan percobaan tindak pidana, barang siapa mulai melakukan suatu tindak pidana, tetapi tidak menyelesaikannya, atau melaksanakan/menyelesaikannnya tetapi tidak mencapai hasil/tujuannya.)

2.      Whoever attempts to commit an offence shall be liable to two thirds of the punishment provided for such offence. (Barang siapa mencoba melakukan tindak pidana akan dipidana dua pertiga dari ancaman pidana yang ditetapkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.)

Dari rumusan di atas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan tindak pidana menurut KUHP Thailand, ialah :

1.      Telah mulai melakukan suatu tindak pidana (jadi telah ada permulaan pelaksanaan).
2.      Tetapi pelaksanaan itu:
a)Tidak diselesaikannya, atau
b)                  Hasil/akibat tujuannya tidak tercapai.

      Perumusan unsur-unsur percobaan dalam pasal 80 KUHP Thailand, seperti halnya dengan pasal 25 KUHP Korea, tidak memasukkan secara tegas adanya unsur niat dan pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri seperti halnya dalam pasal 53 KUHP Indonesia.

      Menurut Prof. Mulyatno pernah mengemukakan pendapat bahwa unsur ke-3 delik percobaan dalam pasal 53 KUHP Indonesia (“pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri”) merupakan alasan penghapus penuntutan. Walaupun demikian beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurungkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dapat dikurangi menurut kebijaksanaan hakim. Pendapat Prof. Muliyatno ini mirip dengan penggabungan ketentuan dalam KUHP Korea dan Thailand.

C.     Percobaan menurut KUHP Philipina
      Dalam R.P.C. mengenai pecobaan diatur di bawah judul Bab I tentang Kejahatan. Dengan demikian untuk menguji apakah terlah terjadi suatu percobaan atau tidak dilihat/diukur dari unsur-unsur tindak pidana, maka unsur-unsur ke-4 lah (tindakan/pelalaian yang diharuskan/dilarang oleh Undang-undang) yang menentukan dalam hubungannya dengan dengan kehendaknya yang dihentikan pihak luar. Artinya unsur ke-4 itu hanya sebagian saja yang sudah terselesaikan, sedangkan sebagian lainnya terhenti karena dicegah/dihentikan atau tidak dimungkinkan pihak luar. Ketentuan-ketentuan mengenai percobaan ini dapat dibaca pada pasal 4 dan 6 R.P.C.

            Akan tetapi tentang ancaman pidana terhadap percobaan tersebut diatur di Bab III tentang Pidana pasal 49 (percobaan dikualifikasikan), pasal 50 (percobaan tercegat), pasal 51 (percobaan), pasal 59 (percobaan yang tidak wajar, serta pasal-pasal 54, 55, 56 dan 57 dalam hubungannya dengan pelaku peserta dan pembantu. Jadi tidak seperti di KUHP Indonesia, diatur dalam pasal 53 itu juga kendati dalam ayat yang berbeda.
            Selanjutnya dalam pasal 7 R.P.C. ditentukan bahwa untuk dapat memidana kejahatan ringan hanyalah jika telah sempurna semua unsur-unsurnya. Ini berarti bahwa percobaan terhadapnya tidak dipidana. Bandingkan dengan pasal 54 KUHP Indonesia.

D.    Percobaan menurut KUHP Soviet Rusia

Dalam FCL pada pasal 15 dan 16 diatur tiga bentuk yang dapat digolongkan sebagai percobaan yaitu :

1.      Penyiapan untuk melakukan kejahatan. Yang dimaksud ialah apabila seseorang sebelum melakukan suatu tindak pidana, ia telah menyesuaiakan sarana yang akan dipergunakan atau ia telah menciptakan atau merencanakan suatu kondisi dalam rangka pelaksanaan tindak pidana itu nantinya. Ancaman pidana untuk tindakan ini ditentukan dalam perundangan dan dalam rangka penjatuhan pidana terhadap petindak, hakim harus mempertimbangkan sifat dari kejahatan itu demikian pula tingkat dari kehendak jahat dari si petindak dan alasan-alasan mengapa tindak pidana itu tidak terselesaikan/diselesaikan. Tindakan ini dapat diperbandingkan dengan makar dalam pasal 86 KUHP Indonesia. Bedanya terutama ialah, bahwa pasal 86 KUHP Indonesia adalah merupakan pengertian otentik.
2.      Percobaan kejahatan. Yang dimaksud hampir sama dengan pasal 53 KUHP Indonesia. Sedangkan mengenai ancaman pidananya, sama dengan tersebut di atas.
3.      Dengan sukarela tidak melanjutkan kejahatan. Bentuk ini sering kali dikenal dengan percobaan dikualifikasikan. Yang dimaksud ialah apabila seseorang telah memulai suatau kejahatan namun sebelum sempurna diselesaikan ia telah mengurungkan melanjutkannya atas kemauan sendiri. Namun jika dengan tindakan yang sudah terjadi itu telah terjadi suatu tindakan pidana yang sebenarnya bukan yang dikehendaki, ia tetap dipertanggungjawabkan kepada tindak pidana yang ternyata sudah terjadi itu.

E.     Percobaan menurut KUHP Republik China
      Persiapan dan percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana diatur pada bagian kedua Bab II di bawah judul “Melakukan Tindak Pidana”. Mengenai persiapan untuk melakukan tindak pidana ditentukan dalam pasal 19 yaitu : “Untuk tujuan melakukan suatu tindak pidana, seseorang yang mempersiapkan peralatan atau menciptakan keadaan”. Ancaman pidananya dapat diperingan atau dikurangi bahkan mungkin juga dibebaskan. Ketentuan ini dapatlah diperbandingkan dengan “makar” (Aanslag) pasal 87 KUHP Indonesia. Kiranya “permufakatan jahat” yang dikenal pada pasal 88 KUHP Indonesia, tercakup dalam pengertian persiapan untuk melakukan kejahatan. Di C.L.C-RRC tidak diatur secara tersendiri mengenai permufakatan jahat.

            Mengenal percobaan dalam C.L.C-RRC diperbedakan antara “tindak pidana yang tidak sempurna di luar kehendak si pelaku” dan “tindak pidana tak sempurna karena pengunduran diri secra sukarela”. Untuk yang pertama diancamkan pidana yang lebih ringan atau diperkurangkan dibandingkan dengan apabila tindak pidana itu dilakukan sepenuhnya (pasal 20).

            Untuk yang kedua diancamkan pidana yang lebih ringan atau ditiadakan pemidanaan, apabila tindak pidana itu belum pernah mengakibatkan kerugian. Juga apabila ia juga kemudian mencegah terjadinya tindak pidana itu, misalnya setelah mengadakan pembakaran rumah, lalu ia sendiri yang memadamkannnya. Dalam hal ini kepadanya diancamkan pidana yang lebih ringan atau dapat juga ditiadakan.








PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari analisa rumusan masalah dan keterangan diatas dimakalah ini dapat diperoleh suatu kesimpulan mengenai percobaan perbuatan pidana, yaitu
1.      Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatau tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Menurut wijono Projodikoro Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.
1.
2.      Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk percobaan perbuatan pidana adalah
a)      Adanya niat
b)      Adanya permulaan pelaksanaan
c)      Keadaan, yakni Tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam dirinya.

3.      Pada hakekatnya pasal 53 dan 54 selalu dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang merujuk pada perbuatan tersebut.

B.     Saran-saran

Menurut saya kejahatan dan pelanggaran yang terjadi negara kita teori dan prakteknya sangat jauh berbeda, apalagi jika kita lihat di berbagai media, baik media massa ataupun yang lainnya. Hukuman dari pelaku tersebut kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang kita pelajari pada teori hukum yang sesungguhnya. Maka dari itu para penegak hukum kita harus jelih dan bijaksana dalam menangani kasus-kasus yang ada di negara kita, khususnya kasus percobaan atau poging.



DAFTAR PUSTAKA
Bahan ajar. Perbandingan hukum pidana. Fakultas hokum UNSRAT. 2017.51-69

http://gilangramadhan1426.blogspot.co.id/2013/11/percobaan-poging.html 

Minggu, 08 Januari 2017

perda dan perkada

PERDA DAN PERKADA

A. Prosedur Umum Pembentukan

Untuk menghailkan sebuah produk “peraturan daerah” yang baik dan sesuai

dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, maka perlu dilakukan berdasarkan prosedur

penyusunan daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi. Dalam pembuatan peraturan

daerah perlu adanya persiapan-persiapan yang matang dan mendalam, antara lain:

1. Dimilikinya pengetahuan mengenai materi mjuatan yang akan diatur dalam

peraturan daerah;

2. Adanya pengetahuna tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut

kedalam perarturan daerah secara singkat tapi jelas, dengan pilihan bahasa yang

baik dan mudah dipahami, disusun secar sistematis berdasarkan kaidah-kaidah

bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Prosedur penyusunan peraturan daerah adalah merupakan rangkaian kegiatan

penyusunan produk hukum daerah sejakdari perencanaan sampai dengan penetapannya.

Proses pembentukan peraturan daerah terdiri dari tiga tahapan:

1. Proses penyiapan rancangan peraturan daerah, yang merupakan proses

penyusunan dan rancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan pemerintah

daerah (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk menyusun

naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik, dan naskah rancangan

peraturan daerah.

2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.

3. Proses pengesahan oleh kepala daerah dan pengundangan oleh biro/bagian

hukum.

Ketiga proses pembentukan Perda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD. Berdasarkan amandemen

I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan

membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD

1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-

Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan

membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda.

Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan

Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau

unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk

Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian

Hukum.

2) Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah. Dalam

proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat

dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23

Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang

telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun

2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang

ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006.

3) Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD. Pembahasan Raperda di DPRD

baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD,

dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda

membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di

Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui

beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini

dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi,

rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih

detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan

oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masingmasing. Khusus untuk Raperda

atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau

pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

4) Proses Pengesahan dan Pengundangan Apabila pembicaraan suatu

Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh

DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala

Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum

untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh

Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan

autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda

tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan

Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi

dan dokumentasi Perda tersebut. Apabila masih ada kesalahan teknik

penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD

dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda

yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala

Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah

diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan

teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah

Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan,

Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat

kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran

Daerah.

B. Peraturan daerah

1. Pengertian peraturan daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan

Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah .

Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang

tentang Pemerintah Daerah1 adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di

Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/ Kabupaten/ kota dan tugas

pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing

daerah.

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah

seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Pembentukan PERDA yang baik

Asas pemebentukan perda

Pembentukan perda yang baik harusa berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan sebagai berikut

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat

dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang

tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi

muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang

undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan

tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun

sosiologis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang

undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat

dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan

bersifat transparan dan terbuka.

3. Proses penyiapan rancangan peraturan daerah

Sebagaimana halnya DPR, dalam konteks daerah, DPRD memegang

kekuasaan membentuk peraturan daerah dan anggota DPRD berhak mengajukan

usul rancangan peraturan daerah. Dalam pelaksanaan RAPERDA dari lingkungan

diatur lebih lanjut dalam peraturan tata tertib DPRD masing-masing daerah.

Pembahasan rancangan peraturan daerah atas inisiatif DPRD akan

dikoordinasikan oleh sekretaris daerah atau pejabat unit kerja yang ditunjuk oleh

kepala daerah untuk bertanggungjawab atas pembahsan lebih lanjut di tingkat

eksekutif. Setelah itu maka akan dibentuk tim asistensi dengan sekretaris yang

berada di biro/bagian hukum.

4. Penulisan rancangan PERDA

Pekerjaan menyusun peraturan daerah seperti halnya, kodifikasi hukum,

dan rancangan peraturan perundang-undangan memiliki spesifikasi tertentu.

Himpunan peraturan perundang undangan disusun berdasarkan derajat peraturan

dan waktu penetapannya. Sedangkan kodifikasi hukum disusun secara sistematis

menurut rumpun masalah dan dikelompokkan secara sistematis dalam Buku, Bab,

Bagian, Paragraf, dan Pasal-Pasal.

5. Proses penyiapan RAPERDA di lingkungan pemerintah daerah

Pada proses penyiapan peraturan daerah yang berasal dari pemerintah

daerah diawali adanya prakarsa dari pimpinan unit kerja untuk mengusulkan suatu

produk hukum daerah (raperda). Rencana penyusunan RAPERDA ini diajukan

oleh pimpinan unit kerja kepada sekretaris daerah untuk dilakukan harmonisasi

materi dan sinkronisasi pengaturan. Yang dimaksud dengan pimpinan unit kerja

yaitu kepala badan, kepala dinas, kepala kantor, kepala bagian/biro di lingkungan

secretariat dapat mengajukan prakarsa kepada sekretaris daerah yang memuat

urgensi, argumentasi, maksud, dan tujuan pengaturan materi yang akan diatur

serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan

dituangkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut. Beberapa hal yang mesti

dilampirkan dalam usulan awal RAPERDA dari pimpinan unit kerja antara lain

memuat isi pokok-pokok pikiran terdiri:

a) Maksud dan tujuan pengaturan dasar hukum menteri yang diatur dan

b) Keterkaitan dengan pengaturan perundang-undangan lain.

Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh secretariat daerah mengenai urgensi,

argumentasi, dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis,

dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan dalam RAPERDA tersebut, maka

sekretaris daerah akan mengambil keputusan.

Sekretaris daerah juga menugaskan kepala biro/bagian hukum untuk

melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila sekfeatris

daerah menyutujui, pimpinan unit kerja menyiapkan draft awal dan melakukan

pembahasan. Pembahasan ini harus melibatkan biro/bagian hukum, unit kerja

terkait dan masyarakat. Setelah itu unit kerja dapat mendelegasikan kepada

biro/bagian hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan

produk hukum daerah (raperda) tersebut. Rencana peraturan daerah yang sudah

melewati tahapan diatas akan disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD

untuk dilakukan pembahasan.

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala

Daerah (gubernur ataubupati/wali kota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas:

1) Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan

Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan

bersama Gubernur.

2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota

tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah

Provinsi.

Rancangan Peraturan Daerah(Raperda) dapat berasal dari DPRD atau

kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh

Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan

oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur

atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat

pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus

menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.

Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau

Bupati/Walikota untuk diasahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu

palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan

oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu

30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui

bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda

tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun

Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua

pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan

peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah

Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama

Bupati/Walikota.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah,

peraturan daerah di bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan

ciri khas masing-masing daerah. 

Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan

merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah

yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat

sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan,

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

Perda dibentuk karena ada kewenangan yang dimiliki daerah otonom dan

perintah dari peraturan-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan yang dimaksud

adalah kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Definisi Perda Sesuai dengan ketentuan UU No. 10/2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan

Daerah (Perda) adalah  peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan UU No. 32/2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah  peraturan perundang-undangan yang

dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah

baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004

mengamanatkan bahwa Perda dibentuk oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan ; serta ayat (3)

Perda yang dimaksud merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-

masing daerah.

C. Proses mendapatkan persetujuan (pembahasan di DPRD)

RAPERDA yang masuk ke secretariat DPRD baik atas usul innisiatif DPRD

maupun atas inisiatif pemerintah daerah, selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh

DPRD bersama Gubernur/Bupati/Walikota. Dala hal ini pemerintah daerah akan

membentuk tim asistensi dengan secretariat berada di biro/bagian hukum. Pada tahapan

pembahasan di DPRD ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan

komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail

mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif pemerintah daerah maupun atas

inisiatif DPRD akan ditentukan oleh peraturan tata etrtib DPRD masing-masing daerah.

Khusus untuk RAPERDA atas inisiatif DPRD, kepala daerah akan menunjuk sekretaris

daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

D. Proses pengesahan dan pengundangan

Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan

disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah

melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan

pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala

Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan

menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan

Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi

Perda tersebut. Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD

dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik

penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada

Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan

kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan

tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih

terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan

DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui

Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam

lembaran daerah agar semua masyarakat di daerah itu dan pihak yang terkait

mengetahuinya.

1) Lembaran daerah dan berita daerah

a) Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat. PERDA

yang telah disahkan oleh kepala daerah harus diundangkan kedalam

lembaran daerah.

b) Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan perda ddengan penjelasannya,

penjelasan atas perda tersebut dicatat dalam tambahan lembaran daerah

dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan perda sebagaimana yang

diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan perda

tersebut adalah sekretaris daerah.

E. Mekanisme pengawasan perda

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintaha daerah

sesuai amanat pasal 217 dan 218 undang undang nomor 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah. Bulan desember 2005 ditetapkan peraturan pemerintah nomor 79

tahun 2005 tentang pedoman pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Pembinaan dan pengawasandimaksudkan agar kewenangan daerah

otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan.

Di samping Pemda merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan

negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian

integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana

dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan

kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas

penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan

pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian

pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada

Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan

pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota

dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada

Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait.

Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU

Nomor 34 Tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan

kewenangan seluas-luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat

limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena

tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini

dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan

pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud

kepada Pemerintah Pusat.

Berbeda dengan PengawasanKebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana

telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor

32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:

a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang

Daerah dan APBD;

c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;

d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;

e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.

Mengenai jenis jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:

a) Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD

dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan

Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari

Dalam Negeri untuk dievaluasi.

b) Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi

tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah

Daerahdalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerimaRancangan

Perda Provinsi.

c) Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak

Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan,

sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi

dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang

Nasional.

d) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur

untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil

evaluasi.

e) Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam

waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f) Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan

tetapmenetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat

membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri.

g) Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan

bersama dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri.

b. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:

a) Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah

disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh

Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur

untuk dievaluasi.

b) Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah

dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima rancangan Perda

Kabupaten/Kota.

c) Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan

Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan

Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk

melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

e) Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD

dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f) Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan

tetap menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda

dengan Peraturan Gubernur.

g) Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada

Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

c. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:

a) Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh)

hari setelah ditetapkan.

b) Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu

60 hari.

c) Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan

Presiden.

d) Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda;

Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180( seratus delapan puluh) hari

setelah pembatalan.

d. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi

Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:

a) Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam

Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

b) Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait

di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

c) komponen terkait melakukan pengkajian dan evaluasi rancangan

rancangan Perda bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat

Jenderal dan komponen terkait.

d) hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

e) hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri

disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

e. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:

a) Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi

Menteri.

b) Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri

Dalam Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri

Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi

dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).

c) Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri

dilakukan klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.

d) Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum

dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam

Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi

dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui

Menteri Sekretaris Kabinet.

e) Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perdadisampaikan kepada

Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum

Sekretariat Jenderal.

f. Pengawasan Represif Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pasal 158 ayat

(1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

menyatakan bahwa Pajak Daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-

Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Daerah. Sedangkan Pasal 238 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa semua

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini

dinyatakan tetap berlaku. Pasal 238 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan

pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua)

tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan, yaitu sampai dengan 15 Oktober

2006.

Sepanjang Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru

belum ditetapkan, ketentuan Pasal 5A ayat (2) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah menyatakan

bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud.

Juga dalam Pasal 25 A ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud. Ketentuan di atas ditindak lanjuti

dengan ketentuan Pasal 80 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang

Pajak Daerah yang menyatakan bahwa dalam hal Perda tentang pajak daerah

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri membatalkan Perda

dimaksud. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang mengatur bahwa dalam hal Perda Retribusi

Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan

membatalkan Perda dimaksud.

F. Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah

membentuk perda. Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala

daerah. Perda memuat materi muatan yaitu:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

b. Penjabara lebih lanjut ketentuan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.

Selain menteri muatan perda dapat memuat materi muatan local sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan dan materi muatan perda

berpedoman pada ketentuan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara

kesatuan republik Indonesia. Pembentukan perda mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam

pembentukan perda. Pembentukan perda dilakukan secara efektif dan efisien. Perda dapat

memuat ketentuan tentang pembenahan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan perda

seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

atau denda paling banyakn Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perda dapat

memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Selain sanksi perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan

pada keadaan semula dan sanksi administrative. Sanksi administratif berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis;

c. Penghentian sementara kegiatan;

d. Penghentian tetap kegiatan;

e. Pencabutan sementara izin;

f. Pencabuatan etatp izin;

g. Denda administrative; dan/atau

h. Sanksi adiministratif lain sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan.

Perencanaan penyusunan perda dilakukan dalam program pembentukan perda.

Program perda disusun oleh DPRD dan kepala daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun

berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda. Program pembentukan perda

ditetapkan dengan keputusan DPRD. Penyusunan dan penetapan program pembentukan

perda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan perda tentang APBD. Dalam

program pembentukan perda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

a. Akibat putusan mahkamah agung; dan

b. APBD.

Selain daftar kumulatif terbuka, dalam program pembentukan perda

Kabupaten/Kota dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai:

a. Penataan kecamatan; dan

b. Penataan desa.

Dalam keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat mengajukan rancangan

perda di luar program pembentukan perda karena alasan:

a. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencan alam;

b. Menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;

c. Mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu

rancangan perda yang dapat disetujui bersama oleh alat kkelengkapan DPRD

yang khusus menangani bidang pembentukan perda dan unit yang menangani

bidang hukum pada pemerintah daerah;

d. Akibat pembatalan oleh menteri untuk perda provinsi dan oleh gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat untuk perda Kabupaten/Kota; dan

e. Perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah

program pembentukan perda ditetapkan.

Penyusunan rancangan perda dilakukan berdasarkan program pembentukan perda.

Penyusunan rancangan perda dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Penyusunan

rancangan perda berpedoman pada ketentuan peratuan perundang-undangan. Pembahasan

rancangan perda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat pembicaraan.

Pembahasan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Rancangan

perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh

pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk dditetapkan menjadi perda.

Penyampaian rancangan perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 hari

terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Gubernur wajib menyampaikan rancangan

perda provinsi kepada menteri paling lama 3 hari terhitung sejak menerima rancangan

perda provinsi dari pimpinan DPRD provinsi untuk mendapatkan nomor register perda.

Bupati/walikota wajib menyampaikan rancangan perda kabupaten/kota kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat paling lama 3 hari terhitung sejak menerima rancangan

perda kabupaten/kota dari pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor

register perda. Menteri memberikan nomor register rancangan perda kabupaten/kota

paling lama 7 hari sejak rancangan perda diterima.

Rancangan perda yang telah mendapat nomor register ditetapkan oleh kepala

daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lama 30 hari sejak rancangan perda

disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Dalam hal kepala daerah tidak

mentandatangani rancangan perda yang telah mendapat nomor register, rancangan perda

tersebut sah menjadi perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah. Rancangan

perda dinyatakan sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi harus dibubuhkan pada

halaman terakhir perda sebelum pengundangan naskah perda ke dalam lembaran daerah.

Rancangan perda yang belum mendapatkan nomor register belum dapat ditetapkan kepala

daerah dan belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah. Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat secara berkala menyampaikan laporan perda kabupaten/kota yang telah

mendapatkan nomor register kepada menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pemberian nomor reegister perda diatur dengan peraturan menteri.

Perda diundangkan dalam lembaran daerah. Pengundangan perda dalam lembaran

daerah dilakukan oleh sekretaris daerah. Perda mulai berlaku dan mempunyai kekuatan

mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam perda yang

bersangkutan. Rancangan perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi

daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi menteri sebelum ditetapkan oleh

Gubernur. Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan perda provinsi tentang tata

ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

bidang keuangan dan untuk evaluasi rancangan perda provinsi tentang tata ruang daerah

berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata

ruang.

Rancangan perda kaupaten kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah , retribusi

daerah, dan tata ruang daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota.

makalah percobaan, menurut KUHP Korea, Thailand, Rusia, China, Indonesia

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PERCOBAAN DALAM PIDANA” Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Yang Telah Diberikan Oleh Dosen Pemb...